Sakramen pengurapan orang sakit merupakan salah satu sakramen dalam kepercayaan Katolik yang masuk dalam kategori sakramen penyembuhan. Sakramen ini ditujukan bagi mereka yang menginginkan pemulihan, baik secara jasmani maupun rohani. Selain bertujuan untuk menyembuhkan, sakramen pengurapan orang sakit atau sakramen minyak suci juga bertujuan untuk mendapat pengampunan.
Ada ajaran yang mengatakan, alasan mengapa sakramen ini memiliki makna penyembuhan dan pengampunan, karena sakramen ini berasal dari karya dan kehidupan Yesus Kristus. Dalam pengertian Kitab Injil, kita bisa mengetahui banyak sekali mujizat dan kisah mengenai Yesus yang menyembuhkan dan mengampuni orang berdosa, serta bagaimana Dia berkuasa atas segala kejahatan, penyakit, dan bahkan kematian. Jadi, kehidupan Yesus lah yang menjadi permulaan asal-usul pengurapan orang sakit.
Berikut ini asal usul sakramen pengurapan orang sakit, yaitu :
1. Gereja Mula-Mula
Dalam Markus 6:13, dituliskan bahwa murid-murid Yesus mengusir banyak setan, mengoleskan banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka. Ini salah satu contoh praktik pengurapan orang sakit pada gereja mula-mula.
Namun pada saat itu, pengurapan ini dilakukan bukan dalam bentuk sakramen, melainkan hanya pelayanan penyembuhan. Korespondensi Paulus menganggap hal itu sebagai karunia penyembuhan yang bersifat karismatik, sedangkan surat Yakobus lebih mengartikan praktik tersebut sebagai sebuah pelayanan penyembuhan yang lebih bersifat gerejawi.
Pandangan mengenai makna pengurapan ini berlanjut selama Periode Patristik awal. Karena pada abad ketiga dan keempat, Origen dan John Chrysostom menafsirkan surat Yakobus sebagai penyembuhan yang cenderung ke arah spiritual daripada fisik. Mereka beranggapan bahwa Tuhan Yesus yang merupakan orang Yahudi pasti akan merasa asing dengan istilah penyembuhan fisik maupun spiritual, mereka berpendapat bahwa Yesus mungkin akan memandang penyembuhan sebagai suatu hal yang mempengaruhi keseluruhan pribadi seseorang.
2. Abad ke-5
Penggunaan minyak tidak hanya digunakan oleh para imam. Orang awam juga boleh menggunakan kapan pun dibutuhkan. Dan seiring perkembangan mengenai asal-usul pengurapan orang sakit, pendapat tentang makna pengurapan orang sakit juga semakin berkembang.
3. Periode Patristik
Makna sakramen minyak suci berubah dari ajaran semula. Penyembuhan yang sebenarnya didapat dari doa orang beriman dan disertai pengurapan minyak suci, saat itu berubah menjadi dominasi minyak suci. Banyak orang yang menganggap minyak sebagai obat suci dari gereja. Mereka percaya akan kekuatan minyak urapan untuk menyembuhkan, dan akibatnya penggunaannya menjadi tidak teratur. Mereka mengurapi satu sama lain dan mengoleskan minyak urapan pada bagian yang sakit tanpa disertai dengan iman.
4. Periode Carolingan
Terjadi perubahan lagi mengenai makna pengurapan orang sakit pada Periode Carolingian. Perubahan tersebut bermula dengan dibentuknya sebuah ritual penyembuhan bagi pastur yang sedang sekarat. Ritual tersebut diawali dengan penerimaan sakramen tobat dan dilanjutkan dengan sakramen pengurapan orang sakit. Lalu pada abad sepuluh, pengurapan ini hanya biasa dilakukan bagi mereka yang mendekati ajal. Hingga akhirnya banyak orang menamakan sakramen pengurapan sebagai sakramen terakhir. Inilah awal mula terjadi pergeseran makna yang sangat drastis mengenai sakramen pengurapan.
5. Abad ke-12
Praktik pengurapan minyak tidak hanya dioleskan pada bagian-bagian yang sakit, tetapi juga kelima indera manusia. Hal tersebut mencerminkan gagasan bahwa indera merupakan penyebab dosa.
Beberapa teolog Fransiskan berspekulasi bahwa sakramen pengurapan khusus untuk mengampuni dosa-dosa hina, sedangkan teolog Domanika merasa bahwa sakramen pengurapan bertujuan untuk menghapuskan sisa-sisa dosa, yaitu kebiasaan buruk umat Kristiani yang mungkin masih tetap dilakukan setelah kesalahan dimaafkan.
6. Abad ke-16
Baru pada abad enam belas, Konsili Trente berusaha untuk mengembalikan makna sakramen pengurapan orang sakit ke makna semula. Uskup menolak rancangan proposal pertama yang intinya membatasi sakramen pengurapan orang sakit hanya bagi mereka yang dalam keadaan sekarat atau berada di ambang kematian. Dan alhasil, di draf terakhir proposal menyatakan bahwa sakramen pengurapan dapat digunakan bagi mereka yang sakit, terutama bagi mereka yang dalam keadaan darurat. Walaupun begitu, ternyata orang-orang masih tetap menganggap sakramen pengurapan hanya diperuntukkan bagi mereka yang dalam keadaan sekarat.
Dalam perkembangannya, gereja-gereja diminta oleh Konsili Vatikan II untuk melanjutkan reformasi sakramen. Doa yang dipanjatkan tidak lagi mengacu pada seseorang yang berada di titik kematian, melainkan lebih kepada penyembuhan fisik. Dan pastur tidak lagi mengurapi kelima indera, tetapi hanya tangan dan dahi yang diurapi.
7. Tahun 1983
Pada tahun 1983, Kitab Hukum Kanon yang baru berbicara tentang pengurapan bahwa pengurapan sebagai satu unsur dalam pemeliharaan pastoral orang sakit. Sakramen pengurapan tidak hanya dipahami sebagai penyembuhan, tetapi juga pengampunan.
Hal tersebut mengacu pada makna penyembuhan pada gereja mula-mula, yaitu penyembuhan pribadi secara keseluruhan. Kita bisa lihat pada Markus 2:1-12 yaitu mengenai kisah Yesus yang mengampuni dosa saat menyembuhkan. Ini yang mendasari makna sakramen yang lebih mendalam, yaitu penyembuhan jasmani maupun rohani.
8. Masa Kini
Dan sekarang, sakramen pengurapan orang sakit kembali ke pemahaman semula, serta bisa diperuntukkan bagi orang-orang yang kesehatannya terganggu oleh penyakit atau bagi mereka yang lemah oleh karena usia lanjut. Jadi, untuk melakukan sakramen ini tidak harus menunggu sampai dalam keadaan darurat untuk mencegah adanya pandangan bahwa sakramen ini khusus bagi mereka yang sekarat. Selain itu, sakramen ini dapat dilakukan berkali-kali apabila penyakitnya kambuh setelah diurapi, sakitnya bertambah ke tingkat yang lebih serius, atau bagi orang tua yang sedang dalam kondisi lemah.
Untuk menghindari penyalahgunaan sakramen pengurapan, hierarki gereja Katolik memberi aturan bahwa sakramen hanya dapat diberikan bagi mereka yang kesehatannya sangat terganggu atau memiliki alasan yang kuat mengapa harus melakukan sakramen.
Inilah asal-usul pengurapan orang sakit dan perkembangan pendapat mengenai maknanya dari abad ke abad. Namun, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya gereja berusaha untuk mengembalikan makna pengurapan orang sakit ke makna semula.